Wednesday, 24 March 2010

Pasar Mester Jatinegara


Di gapura itu tercetak tulisan “Pasar Mester”. Dari seberang Jalan Jatinegara Timur, Jakarta Timur, hiruk pikuk manusia di sekitar gapura menyita pemandangan. Angkutan perkotaan (angkot) yang melintas pun selalu tergoda memperlambat lajunya.

Memasuki gapura setinggi empat meter itu, hiruk pikuk semakin terasa. Orang-orang terkonsentrasi di dalam bangunan pasar dan lapak-lapak yang mengelilinginya.

Pasar Mester memang dikenal sebagai pusat grosir terbesar di Jakarta Timur. Pasar ini menjadi salah satu rekomendasi bagi pemburu souvenir murah untuk pernikahan. “Pasar Mester awalnya hanya menjual bahan pokok, ayam, kambing, dan jahitan pakaian saja,” kata Muhammad Yunus, sesepuh Jatinegara.

Perubahan pesat selama 60 tahun terakhir di Pasar Mester begitu lekat dalam ingatan pria kelahiran 10 Oktober 1945. Tahun 1948, kata dia, Pasar Mester hanya lapak-lapak kumuh yang dijaga para centeng.

Centeng adalah sebutan preman yang menarik uang kemanan dari pedagang. “Centeng yang terkenal yaitu Kong Jaih. Ada sekitar tahun 1950,” ujar pria yang sejak usia 3 tahun menghabiskan waktu bermain di Pasar Mester.

Bangunan permanen di Pasar Mester baru muncul sekitar tahun 1970. Bangunan itu kemudian direnovasi tahun 1989 setelah terbakar. Renovasi memakan waktu 1 tahun. ”Tahun 1991 pasarnya diresmikan sampai sekarang,” kata pria yang akrab disapa Babe Yunus.

Pada masa Hindia Belanda, Mester tidak hanya merujuk pada bangunan pasar. Catatan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kota Tua, Mester digunakan untuk menyebut seluruh kawasan Jatinegara. Letaknya sekira 20 kilometer dari pusat Kota Batavia di Pasar Ikan.

Sejarah dimulai sejak 1661, saat guru agama Kristen asal Pulau Banda, Cornelis Senen, membuka kawasan hutan jati di daerah itu. Jabatannya sebagai guru agama membuat Cornelis Senen mendapat tambahan gelar Meester di depan namanya, yang artinya “tuan guru”.

Sejak akhir abad 17, Meester Cornelis mulai menguasai tanah di kawasan hutan jati itu. Masyarakat pun menyebutnya dengan kawasan Meester Cornelis. “Orang awam sih dulu bilangnya mester tapi sebenarnya master. Ya sesuai dengan lidah orang Betawi biar gampang nyebutnya,” ujarnya.

Kawasan hutan jati yang dibuka Meester Cornelis perlahan berkembang menjadi kota satelit Batavia. Pada 1924, Mester dijadikan nama kabupaten, yang terbagi dalam empat kawedanan. Kawedanan Meester Cornelis, Kebayoran, Bekasi, dan Cikarang.

Sedangkan, nama Jatinegara baru mulai digunakan pada awal pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942. Kala itu Jepang berupaya keras menghilangkan nama-nama yang berbau Belanda. Lantaran kawasan itu bekas hutan jati yang lebat, dipilihlah nama Jatinegara menggantikan Meester Cornelis.

Tapi, penobatan Jatinegara tidak serta merta menghilangkan nama Mester. Nama sang “tuan guru” tetap terukir indah di pasar Jatinegara.